BITHE.co – Ketua Tim Peneliti Hutan Adat Aceh, Teuku Muttaqin Mansur, membeberkan sekelumit tantangan penetapan hutan adat di Aceh. Diantaranya ialah mengenai pengakuan mukim sebagai subjek masyarakat hukum adat dalam mengelola kawasan hutan adat. Teuku Muttaqin menjelaskan, mukim dalam perspektif nasional tidak diakui keberadaannya dalam struktur pemerintahan Indonesia, mukim hanya diakui dalam struktur pemerintahan Aceh.
Jika mukim diakui sebagai masyarakat hukum adat yang berwenang atas hutan adat, kata Muttaqin, dikhawatirkan oleh pemerintah bisa memicu konflik antar desa dan masyarakat hukum adat, serta dengan pawang uteun di dalamnya, karena otoritas mukim dalam mengelola hutan adat nantinya dianggap yang berhak dan berwenang mengelola kawasan hutan adat.
“Ini masih menjadi diskusi yang cukup panjang, dalam perspektif nasional keberadaan mukim masih saja dipersoalkan. Karena ketika hutan adat diakui dan keberadaan mukim diakui sebagai subjek hukum adat, jangan-jangan nanti bisa dikomplain oleh perangkat gampong dan pawang uteun,” kata Teuku Muttaqin kepada Bithe.co, Banda Aceh, Rabu (25/10/2023).
Dalam upaya untuk menjawab tantangan itu, Teuku Muttaqin bersama rekan-rekannya di Pusat Riset Hukum, Islam dan Adat (PR-HIA) Universitas Syiah Kuala (USK) kemudian mengadakan sebuah riset. Hasil riset menunjukkan bahwa mukim jika dilihat dari sisi peraturan perundang-undangan Aceh, dilihat dari sisi empiris di lapangan dan secara struktur pemerintahan, sesungguhnya mukim adalah masyarakat hukum adat yang masih hidup nyata di tengah masyarakat Aceh. “Mukim dalam struktur pemerintahannya membawahi gampong-gampong, sehingga dalam hal pengelolaan hutan adat, mukim tidak mungkin mengintervensi struktur adat di bawah mukim, karena struktur tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari mukim itu sendiri. Pawang uteun adalah bagian dari struktur pemerintahan mukim, cuman bidangnya menjaga hutan,” ungkap Teuku Muttaqin yang juga menjabat Sekretaris PR HIA Meski demikian, Muttaqin mengungkapkan bahwa seiring berjalannya waktu, otoritas mukim mulai melemah di masyarakat. Pengaruh mukim tidak terwariskan dengan baik kepada masyarakat dan kaum muda. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya karena konflik GAM-RI, bencana tsunami, serta diakibatkan oleh faktor pemerintah pusat dan daerah yang melupakan otoritas mukim, lebih mendorong gampong untuk berdaya mandiri. “Padahal mukim membawahi gampong-gampong, sementara gampong adalah unit di bawah otoritas mukim, yang di dalam pemerintahan Aceh keberadaannya diakui,” ungkapnya. Kemudian, Teuku Muttaqin mengatakan, sentralisasi pengetahuan akan otoritas mukim di tengah masyarakat Aceh juga mulai melemah. Hilangnya pembina adat di gampong-gampong membuat pengetahuan akan otoritas mukim di masyarakat mulai memudar. Meski begitu, Teuku Muttaqin mengatakan, pemerintah provinsi maupun daerah, termasuk Wali Nanggroe dan Majelis Adat Aceh (MAA) memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk membina dan melestarikan lembaga adat mukim. Hal demikian sesuai dengan amanah Qanun Aceh No. 9 dan 10 Tahun 2008. “Melemahnya otoritas mukim di tengah masyarakat saya rasa akan jadi masalah di kemudian hari. Konklusinya nanti bisa menyebabkan mukim kehilangan pengakuan, hilang pengakuan artinya sama dengan kehilangan otoritas,” pungkasnya.
Salinan ini telah tayang di https://www.bithe.co/news/debat-panjang-otoritas-mukim-kelola-kawasan-hutan-adat-aceh-ini-kata-pakar/index.html.
Comments are closed