Pusat Riset Hukum, Islam, dan Adat Universitas Syiah Kuala, meluncurkan rencana pelaksanaan simposium nasional, pada Rabu (27/7) siang, melalui jaringan zoom. Kegiatan yang bertema “Dilema masyarakat hukum adat di Indonesia” itu, akan berlangsung luar jaringan (luring) di kampus Universitas Syiah Kuala pada 25-26 Agustus mendatang. “Ada 12 pemateri yang dijadwalkan akan hadir ke Banda Aceh, yang akan membicarakan corak masing-masing masyarakat hukum adat. Yang sudah dijadwalkan, dari Papua, Padang, Yogyakarta, dan sejumlah peneliti dari Jakarta,” kata Ketua Panitia, Dr Sulaiman Tripa.

Kegiatan ini sangat penting. Menurutnya, kondisi pengakuan hukum yang masih terbentur dalam operasionalnya di lapangan, harus tuntas diperbincangkan secara akademis dan praktis. “Masalah ini idealnya harus segera selesai, agar tidak mencederai hak-hak masyarakat adat yang harusnya bisa dicapai,” ujar Sulaiman.

Atas maksud itulah, ditegaskan pentingnya kegiatan ini. “Pusat Riset Hukum, Islam, dan Adat Universitas Syiah Kuala mengajak sejumlah pihak yang selama ini melakukan pendampingan di lapangan. Kerja sama ini sangat penting agar mereka bisa menyuplai pengalamannya untuk para akademisi di ruang-ruang kampus,” jelasnya.

Pemateri yang akan hadir di Banda Aceh, disampaikan Sulaiman, antara lain Prof Dr Kurniawarman dari Universitas Andalas, Dr Rikardo Simarmata (Universitas Gadjah Mada), Dr M Gaussyah MH (USK), Agung Wibowo (Huma), Rizky Januar Haryanto (WRI Indonesia), hingga Yustina Ogoney (wakil perempuan Suku Moskona Papua).

Ketua Pusat Riset, Dr Azhari Yahya MCL MA, dalam sambutannya berterima kasih kepada semua pihak yang terlibat. “Kegiatan ini berlaku dari kontribusi banyak pihak, baik materi maupun nonmateri, mudah-mudahan bisa berjalan dengan baik,” kata Azhari.

Sejumlah pihak yang berkontribusi menegaskan kegiatan ini sangat penting. Dean (perwakilan WRI Indonesia), Erwin (Huma Jakarta), dan Irham Yunardi (Yayasan HAKA), menyebutkan pentingnya kolaborasi terkait masyarakat hukum adat dan termasuk soal lingkungan. “Pendampingan terhadap mukim di Aceh terutama terkait penguatan dalam mengelola lingkungan, sangat penting di Aceh. Kami beranggapan mukim masuk dalam kategori ini. Kami berharap dengan tukar pikiran ini akan memberi solusi bagi masalah masyarakat adat di negeri ini,” sebut Zulfikar Arma, Koordinator Jaringan Kerja Maysarakat Adat (JKMA) Aceh.

Categories:

Tags:

No responses yet

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *