BANDA ACEH, KOMPAS — Masyarakat hukum adat mukim di Provinsi Aceh telah mengusulkan hutan adat seluas 144.497 hektar. Namun, sejak 2018 hingga Desember 2022 usulan tersebut belum disahkan. Penetapan hutan adat perlu dilakukan agar masyarakat adat punya legalitas dalam mengelola hutan mereka.
Hal itu mengemuka dalam diskusi publik hasil riset bertajuk ”Hutan Adat Mukim sebagai Model Pengelolaan Hutan di Aceh” di Banda Aceh, Jumat (16/12/2022). Diskusi publik tersebut digelar oleh Pusat Riset Hukum, Islam, dan Adat (PRHIA) Universitas Syiah Kuala.
Ketua Tim Riset PRHIA Teuku Muttaqin Mansur mengatakan, masyarakat hukum adat di Aceh atau disebut mukim memiliki struktur lengkap hingga pada pawang/panglima hutan. Kemukiman merupakan gabungan dari beberapa desa yang dipimpin oleh Imum Mukim.
Namun, kata Muttaqin, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan masih mempertanyakan identitas masyarakat adat di Aceh antara mukim dan desa. Ada kekhawatiran setelah hutan adat ditetapkan akan timbul konflik antardesa. Padahal, usulan hutan adat oleh mukim telah disetujui oleh pemerintah desa di bawah mukim.
”Hutan adat yang diusulkan mukim di Kabupaten Pidie belum disetujui karena mukim tidak memiliki batas wilayah yang disebutkan secara tegas dalam qanun/perda,” kata Muttaqin.
Tim riset PRHIA Universitas Syiah Kuala melakukan pengkajian mendalam tentang historis mukim dan pengelolaan hutan adat oleh mukim. Lokasi penelitian di Kabupaten Pidie.
Menurut Muttaqin, pada masa pemerintahan kerajaan Aceh, mukim memiliki kewenangan yang besar. Mukim memiliki hukum adat pengelolaan hutan yang sangat kompleks dan sesuai dengan semangat menjaga hutan, seperti larangan menebang pohon radius 200 meter dari mata air, 100 meter dari pinggir sungai, dan pada tanah kemiringan tertentu.
Namun, pada masa Orde Baru, pemerintahan mukim dihapus. Akan tetapi, kini keberadaan mukim telah diakui kembali. ”Pengusulan hutan adat oleh mukim sudah tepat karena mukim merupakan kesatuan masyarakat adat desa-desa,” kata Muttaqin.
Imum Mukim Paloh Kabupaten Pidie, Muhammad Nasir, mengatakan, warga Mukim Paloh sangat berharap agar usulan hutan adat segera disahkan supaya ada jaminan hukum bagi warga mengelola hutan. ”Kami sangat butuh (hutan adat) sebagai mata pencarian. Kami butuh hak kelola hutan,” ujarnya.
Ketua Jaringan Komunitas Masyarakat Adat (JKMA) Aceh Zulfikar Amna mengatakan, dari 144.497 hektar usulan hutan adat Aceh, seluas 112.712 hektar telah masuk dalam peta indikatif KLHK atau tinggal menanti pengesahan. Hutan adat seluas 144.497 hektar itu diusulkan oleh 13 mukim dari empat kabupaten, yakni Pidie, Aceh Besar, Aceh Barat, dan Aceh Jaya.
JKMA Aceh mendampingi masyarakat adat mukim untuk mengusulkan hutan adat. Menurut Zulfikar, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 Tahun 2012 mempertegas keberadaan masyarakat adat. ”Perlu didorong bersama agar KLHK segera menetapkan hutan adat di Aceh,” ujarnya.
Artikel dipublikasi oleh KOMPAS https://www.kompas.id/baca/nusantara/2022/12/16/144497-hektar-hutan-adat-di-aceh-menunggu-penetapan
No responses yet